Kamis, 27 Oktober 2011

Diskursus Filosofis Tentang Generasi Muda

Urgensi Revitalisasi dan Rekonstruksi Fundamental Basis Moral-Etis Generasi Muda

(Refleksi Ilmiah Hari Sumpah Pemuda ke-83)

Joao Manuel da Costa Sarmento, SVD

Mahasiswa STFK-Ledalero
Tinggal di Wisma Fransiskus Xaverius

"If we never define a problem as a problem, we can never solve the problem."

Diskursus filosofis tentang keberlanjutan generasi muda memang selalu melahirkan polemik. Betapa tidak? Di satu sisi, ada banyak harapan (ideal) yang disematkan dalam diri kaum muda bangsa kita. Namun di sisi lain realitas justru menunjukan bahwa, apa yang terjadi pada kebanyakan (meskipun tidak semua) generasi muda kita saat ini, justru masih sangat jauh dari yang diharapkan. Konfrontasi antara apa yang diharapkan dengan  gambaran realitas dewasa ini  melahirkan klaim bahwa, problem kaum muda memang merupakan suatu problem yang paradoksal. Timbul pertanyaan, “ apa yang menjadi ideal bagi  kaum muda, dan problem fundamental macam apakah yang menjadi halangan dasariah untuk menggapai ideal tersebut?”.
Tentunya sebagai bangsa yang besar kita tidak hanya mendambakan generasi muda penerus bangsa yang berkompeten dalam  kemampuan-kemampuan yang sifatnya pragmatis saja, melainkan juga punya kualitas batin yang unggul yakni moral yang baik yang dapat diintregasikan dengan kemampuan-kemampuan pragmatisnya. Dari berita media masa, ditemukan bahwa, problem serius yang sudah menjamur dan meluas di kalangan masyarakat terkhusus kaum muda adalah problem degradasi moral.   Hal ini didukung oleh pelbagai data empiris. Dari hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) nampak bahwa, prevalensi penyalahgunaan narkoba di lingkungan pelajar dan mahasiswa pada tahun 2011 kini mencapai 4,7% dari jumlah pelajar dan mahasiswa atau sekitar 921.695 orang. Ada pula berita lain seperti tawuran mahasiswa yang terjadi pada bulan September 2011 lalu antara mahasiswa FISIP dan Teknik  Universitas Negeri Lampung. Problem tersebut memang bukanlah hal yang baru, karena sejatinya ia telah digulati selama bertahun-tahun oleh para pemerhati kaum muda. Pergumulan yang cukup panjang ini tentunya melahirkan pertanyaan eksistensial,”ada apa dengan kaum muda dewasa ini?”
Berkaca pada aneka informasi yang diperoleh dari  media masa, lahir klaim bahwa, di era globalisasi ini kerap terjadi penjungkirbalikan nilai-nilai moral dalam hidup kaum muda bangsa kita. Nilai-nilai moral yang seharusnya dijunjung, dihayati dan dikembangkan dalam kehidupan kaum muda justru dianggap sebagai hal yang kolot, aneh dan sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan di era globalisasi ini. Ada semacam degradasi nilai dan moralitas.
 Term-term positip yang digagaskan dan diwariskan generasi kaum muda masa silam seperti rela berkorban, saling mengasihi dan sebagainya, tidak lagi menjadi spirit yang memacu kaum muda untuk lebih maju. Sebaliknya, berbagai negativitas yang sementara merebak justru dilihat dan dianggap sebagai kesenangan, bahkan sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai syarat absolute guna memperoleh pengakuan atau privilege.
Problem ini menunjukan bahwa, kaum muda dewasa ini sebenarnya tidak mendefinisikan  lagi negativitas sebagai sesuatu yang negatif atau yang buruk dan menyimpang dari apa yang seharusnya. Lemahnya kesadaran moral tersebut kerap mendepak kaum muda pada ranah hidup yang keliru. Tergiur oleh arus hedonisme, kaum muda akhirnya membiarkan diri terperangkap dalam negativitas tersebut. Pertanyaannya, “apa yang menjadi alasan fundamental dari aneka negativitas tersebut? Entahkah sistem pendidikan dalam keluarga dan sekolah yang sudah tidak kontekstual lagi dengan zaman sekarang? Ataukah generasi muda bangsa kita yang memang tidak sanggup mencapai atau sekurang-kurangnya mendekati ideal yang diharapkan?”.
Berhadapan dengan problem tersebut, tentunya setiap kita punya jawaban masing-masing. Berbagai jawaban yang dikonstruksi oleh setiap pemerhati kaum muda tentu tidak pernah diseparatisasikan dari konsepsi tentang komponen-komponen yang turut memberi andil positip dalam  membentuk kaum muda. Misalnya, keluarga, pendidikan formal, kaum muda itu sendiri, dan masyarakat. Jika ditilik secara lebih mendalam, problem ini dipengaruhi oleh memudarnya basis moral-etis dalam realitas hidup kaum muda. Timbul suatu pertanyaan “siapakah yang seharusnya menjadi peletak dasar moral dan etis bagi kaum muda?”.

Tentu, dalam menjawabi problem dimaksud, keluarga, tetap menempati posisi sentral. Keluarga menjadi pilar utama dalam menata basis moral-etis bagi kaum muda. Jika dikaji secara signifikan nampak klaim bahwa, degradasi moral yang terjadi di kalangan kaum muda, lebih dipengaruhi oleh lemahnya mentalitas keluarga teristimewa para orang tua dalam mendidik dan mengarahkan anak. Para orang tua lebih banyak memperhatikan dimensi ekonomi tanpa mengimbanginya dengan aspek pendidikan moral-etis bagi kaum muda. Menurut Catherine Cooper, pembentukan identitas kaum muda sangat dipengaruhi dan diperkaya oleh relasi dalam keluarga di mana, kaum muda didorong untuk mengembangkan gagasannya serta diberi landasan yang aman untuk menjajaki dunia sosial yang lebih luas. Keluarga menjadi tempat penegasan diri (self-assertion). Jika aneka hal semacam ini, tidak diperhatikan secara intens, maka akan memperparah mentalitas hidup dari kaum muda itu sendiri.

Mesti disadari bahwa, arus globalisasi dan modernisasi yang pesat dewasa ini kerap membuat banyak orang tua larut dalam  kultur aktivisme radikal sehingga melimpahkan sebagian besar tugas dan tanggung jawabnya kepada komponen pendidikan formal. Padahal lazimnya, pendidikan formal bukanlah tempat yang menjadi strating point bagi penanaman nilai-nilai moral bagi seorang anak, melainkan lebih sebagai tempat dan momen untuk memantapkan dan menyempurnakan dasar yang sudah dibangun dalam keluarga. Jadi, peletak dasar awal bagi basis moral-etis kaum muda bukanlah tugas utama dari komponen pendidikan formal melainkan keluarga (orangtua). Pendidikan formal hanya melanjutkan aneka dimensi positip yang telah ditanamkan dan dibangun dalam keluarga. Lalu, apakah yang mesti dibuat untuk menghadapi problem ini?
Tentunya problem ini bukanlah problem gampang yang bisa diselesaikan semudah membalikan telapak tangan. Hal yang diperlukan saat ini adalah suatu revitalisasi dan rekonstruksi fundamental dalam hidup dan kazanah berpikir keluarga (orangtua). Paradigma berpikir keluarga (orangtua) yang terpenjara oleh bingkai akumulasi ekonomi kapital yang kian mengglobal, mesti ditransformasikan ke dalam ranah kesatuan yang harmonis antara dimensi ekonomi dengan penanaman moral-etis dalam hidup keluarga. Dimensi moral-etis yang ditanamkan kepada kaum muda tidaklah cukup dengan rentetan informasi verbal saja, melainkan juga dengan praksis hidup dari keluarga (orangtua). Melalui hal tersebut, kaum muda akan terbiasa dengan nilai-nilai moral-etis dan menganggap hal tersebut penting bagi kehidupannya. Dengan demikian, ketika menemui sejumlah negativitas dalam interaksi sosial, kaum muda secara selektif dan kritis akan melihat hal tersebut sebagai hal yang asing dan menyimpang dari nilai hidup yang mereka anut, bukannya sebagai suatu suatu kebutuhan yang yang pemenuhannya bersifat niscaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar